Jumat, 22 April 2016

Makalah Ali bin Abi Thalib

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat dari kekhalifahan islam. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi dirumah khalifah Usman bin Affan.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar. Pada waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
Membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku yang kami baca, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Di makalah ini juga, kami akan menghadirkan biografi Ali sebagai pengetahuan sepintas, sebab tidak pantas rasanya kalau kita membahas seseorang tetapi tidak mengetahui biografinya.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib?
2.        Bagaimana proses pembai’atan Ali bin Abi Thalib?
3.        Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib?
4.        Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib?
5.        Peristiwa apa saja yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib?

C.       Tujuan dan Manfa’at
1.      Tujuan
a.       Dapat memahami dan menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib.
b.      Dapat memahami dan menjelaskan tentang proses pembai’atan Ali bin Abi Thalib.
c.       Dapat memahami dan menjelaskan tentang sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib.
d.      Dapat memahami dan menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib.
e.       Dapat memahami dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib.
2.      Manfa’at
a.       Memberikan tambahan ilmu yang sebelumnya masih kurang atau bahkan belum tahu sebelumnya.
b.      Memberikan tambahan pengetahuan yang baru.
c.       Memberikan bekal dalam pembuatan skripsi kelak.
d.      Memberikan tambaham iman dan taqwa kepada Allah.








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Ali bin Abi Thalib
1.        Nama dan Nasab Ali bin Abi Thalib
Ia adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf, sepupu nabi Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seleuruh perempuan, Fatimah binti Nabi Muhammad, serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin hasyim bin Abdu Manaf. Ia masuk islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.[1]
2.      Istri Ali bin Thalib
Semasa hidup Ali, Ia mempunya banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya adalah: Fatimah binti Rasulullah SAW, Umamah binti Abul ‘Ash, Khaulah binti Ja’far bin Qais, Laila binti Mas’ud, Ummul Banin bintu Hizam, Asma’ binti ‘Umais, ash-Shahba binti Rabi’ah, dan Ummu Sa’id binti ‘Urwah.[2]
3.      Anak Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki: al-Hasain, al-Husain, Muhammad al-Akbar, ‘Ubaidillah, Abu Bakar, al-‘Abbas al-Akbar, Utsman, Ja’far al-Akbar, Abdullah, Yahya, ‘Aun, Umar al-Akbar, Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-Ashghar. Adapun yang perempuan: Zainab al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul Hasan, Ramlah al-Kubra, Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum asg-Shughra, Fatimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Nafisah.[3]
B.       Pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
Setelah Khalifah Usman syahid, Ali diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau menolak, namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Usman) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali)". Ali berkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". Ali menjawab: "Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum muslimin pun membaiatnya sebagai khalifah mereka.[4]
Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah selama 4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M.
Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh Mu’awiyah bin Abu Shufyan, dengan alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman, dan berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang di Madinah saja.[5]
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-Shahabi menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa  bersenjata yang menelan korban bukan kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian tetapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan tertentu  di dalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung beberapa puluh tahun sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib.[6]

C.       Sistem Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Ia juga membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.[7]
Ali juga memindahkan pusat kekuasaan islam ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah. Pada saat itu, Ali tidak bermukim secara tetap di Kuffah, dia pergi kesana hanya untuk menegakkan kekuasaannya, sebagaimana ditunjukkan oleh jasa pemukimannya yang ada diluar kota itu. Pada saat yang sama dia melakukan perpindahan-perpindahan untuk menegakkan kedudukannya dibeberapa propinsi didalam kerajannya.[8]

D.      Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Selama Ali bin Abi Thalib memerintah , ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai dengan situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali sangat berbeda dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah:
1.      Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman
Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah untuk segera mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi pemerintahannya yang masih labil,  Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.[9]
2.      Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi
Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan pemerintahannya yang dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Hal inilah antara lain yang digugat oleh kaum pemberontak. Ali segera mengambil kebijaksanaan untuk mengganti gubernur yang diangkat Utsman tersebut.[10]
3.      Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa melihat apakah masuk islam dahulu atau belakangan.
4.      Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat.
5.      Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman.
6.      Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.[11]

E.       Peristiwa-peristiwa Penting pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
1.      Perang Jamal
Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali. Aisyah telah dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya menginginkan jabatan khalifah. Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak mengusut pembunuhan khallifah ustman dan dianggap membiarkan kasus pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan dengan melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak berperang maka perangpun tidak bisa dihindarkan.
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal berjumlah antara 5.000-6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair.[12]
Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan (Thalha-Zubair) gugur atau terbunuh dimalam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “ibu negara”.[13]
2.      Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Mu’awiyah. Perang ini tidak berakhir dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati indikasi peperangan, akan tampak  kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini terjadi karena faktor politik. Dapat dikemukakan dua hal yang mempengaruhi: Pertama, Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656, namun Mu’awiyah jauh lebih mapan karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur Syiria; Kedua, Mu’awiyah cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik kemantapan politik pada masa khilafah.[14]
Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat. Dalam peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak 50.000 orang, dan Mu’awiyah membawa tentara Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an yang dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qur’an. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan Khawarij.[15] Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya yang mengenai otak.[16]
3.      Perang Nahrawan
Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij memberontak terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka mengatakan: “tidak boleh ada hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allah”. Mereka memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali.
Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Khabbabdan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka, isinya: “Siapa yang menbunuh Khabbab?” Mereka menjawab: “Kamilah semua yang membunuhnya”. Maka Ali pun keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan.[17]
4.      Munculnya Sekte-sekte
Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu percekcokan yang terjadi dikalangan pengikut Ali.  
Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik: kelompok setia Ali yang selanjutnya dinamakan Syi’ah dan kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij, benar-benar berbeda sangat jauh.
Syi’ah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri. Keduanya sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syi’ah adalah wajib. Keharusan agama dan dunia akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan, adanya imam tidak diharuskan agama. Imam tidak perlu bila manusia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia membuat kehancuran dengan membunuh.
Kemelut yang semula menitikberatkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan teologi. Seperti apa yang dilontarkan Syi’ah maupun Khawarij, mempunyai konotasi dengan pembicaraan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.[18]
BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
1.      Ali menjadi Khalifah ditunjuk oleh para sahabat.
2.      Masa kekhalifahannya 35-40 H / 656-661 M
3.      Memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah.
4.      Memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan mengirim kepala daerah yang baru yang menggantikan
5.      Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman dengan jalan yang tidak sah.
6.      Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.
7.      Perang Jamal => Pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah => menuntut balas atas terbunuhnya Utsman dan Ali tidak mau menghukum pembunuh Utsman. Perang dimenangkan Ali.
8.      Perang Shiffin => Pemberontakan oleh Mu’awiyah. Diakhiri dengan Tahkim.
9.      Perang Nahrawan => Pemberontakan oleh Khawarij.
10.  20 Ramadhan 40 H (24 Januari 661 M), Ali dibunuh Abdurrahman bin Muljam.

B.       Kritik dan Saran
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan  terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mohon maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Hiqbah Minat Tarikh (Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-Husain) diterjemahkan: Syafarudin. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Fu’adi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
http://cipcipmuuach.blogspot.co.id/2013/04/sistem-politik-masa-khalifah-ali-bin.html, diakses 4 April 2013
Karim, Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Sou’yb, Joesoef. 1970. Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Shaban. 1993. Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sholikhin. 2005. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Rasail.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.


[1] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Hiqbah Minat Tarikh (Inilah Faktanya, Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-Husain) diterjemahkan: Syafarudin, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012), cet. 2, hlm. 167.
[2] Ibid, hlm. 167-168.
[3] Ibid, hlm. 168.
[4] Ibid, hlm. 174.
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), hlm. 28.
[6] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 462-463.
[7] http://cipcipmuuach.blogspot.co.id/2013/04/sistem-politik-masa-khalifah-ali-bin.html, diakses 4 April 2013
[8] Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 105.
[9] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 61
[10] Ibid, hlm. 61-62.
[11] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 66.
[12] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Op. Cit., hlm. 181.
[13] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 106-107.
[14] Sholikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 23-24.
[15] Khoiriyah, Op. Cit., hlm. 63.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hlm. 40.
[17] Utsman bin Muhammad al-Khamis, Op. Cit., hlm. 195.
[18] Solikhin, Op. Cit., hlm. 29-30.

5 komentar: