BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan
berkembangnya dan meluasnya Islam di dunia, sudah barang tentu perkembangan itu
tidak terlepas dari berbagai problematika yang timbul, baik yang timbul dari
dalam Islam itu sendiri maupun dari luar Islam. Dan diantara problematika yang
timbul dari dalam diri Islam itu sendiri adalah timbulnya firqah atau golongan
yang benihnya sudah mulai dirasakan tatkala nabi Muhammad saw sudah meninggal.
Sejarah Islam
telah mencatat tentang banyaknya firqah-firqah atau golongan-golongan yang ada
di dalam tubuh umat Islam. Dan berdasarkan keterangan dari beberapa hadis, dari
kesemua firqah/golongan tersebut semuanya dikatakan sebagai firqah/golongan
yang sesat kecuali hanya satu golongan. Hal ini tentunya didasarkan atas dasar
keterangan dari matan hadis yang sudah sering kita jumpai bahkan sudah sering
kita kaji.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّيٰ الله عَلَيْهِ وَسلَّمْ : وَالذِّي
نَفْسِيْ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِيْ عَليٰ ثَلَثٍ وَسبْعِيْنَ
فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ
قِيْلَ : وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَا
اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِيْ
Artinya:
Abdullah bin Amr berkatan: Rasulullah saw
bersabda: Sesungguhnya umat bani Israil terpecah belah menjadi tujuh puluh dua
golongan. Dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
kesemuanya akan masuk ke neraka kecuali satu golongan yang akan selamat. Para
sahabat bertanya: Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: yaitu golongan yang mengikuti ajarannku dan ajaran para
Sahabatku.
Memang ada yang menilai hadis tersebut
mengandung kelemahan. Akan tetapi, apabila dijadikan pegangan dan pedoman untuk
mengukur pandangan dan perilaku yang dapat dibenarkan oleh ajarang Islam,
pastilah lebih baik dibanding keterangan para pakar yang belum pasti kekuatan
dan kebenarannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah?
2. Bagaimanakah
latar belakang kemunculan Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah?
3. Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah?
4. Apa saja ajaran-ajaran Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah?
5. Bagaimana
Sekte-sekte Aliran
Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyah, dan
Qadariyah?
C. Tujuan dan Manfa’at
a. Tujuan
1. Dapat memahami dan menjelaskan apa Pengertian Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
2. Dapat memahami dan menjelaskan latar
belakang kemunculan Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
3. Dapat mengetahui tokoh-tokoh Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
4. Dapat memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
5. Dapat memahami dan menjelaskan Sekte-sekte Aliran Syia’ah, Khowarij, Murji’ah, Jabariyyah, dan Qadariyyah.
b. Manfa’at
1. Memberikan tambahan ilmu yang sebelumnya masih kurang atau bahkan belum
tahu sebelumnya.
2. Memberikan tambahan pengetahuan yang baru.
3. Memberikan tanbahan iman dan taqwa kepada Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Syi’ah
1.1. Pengertian Syi’ah
Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat
setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau
kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83
yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).[1]
Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa
yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga
Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib
(paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi
saw) beserta keturunannya.[2]
Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih,
penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide
atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang
modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang
mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat
fanatik.[3]
1.2. Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula
lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya
Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan
Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu
muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut
kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah
gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak
pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai
peristiwa tahkîm atau arbitrasi.[4]
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap
kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan
Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut
Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian
kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang
seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi
Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang
menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu
sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.[5]
Namun demikian,
terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru
muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula
kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali
pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.[6]
1.3. Tokoh-Tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti
‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh
Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham
Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq.
Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran
Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh,
karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah
menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud
Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang
kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut
memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna
‘Asyariyah.[7]
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang
tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal
sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia
hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga
karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.[8]
Selain dua tokoh di
atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
a. Nashr bin Muhazim
b. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g. Ali bin Babawaeh al-Qomi
h. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i.
Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j.
Muhammad bin Hamam
al-Iskafi
k. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l.
Ibn Qawlawaeh al-Qomi
m. Ayatullah Ruhullah Khomeini
n. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o. Sayyid Husseyn Fadhlullah
p. Murtadha Muthahhari
q. ‘Ali Syari’ati
r.
Jalaluddin Rakhmat[9]
s. Hasan Abu Ammar[10]
1.4. Ajaran-ajaran
Syi’ah
a.
Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat
dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada
keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait.
Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua,
hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah,
Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah
bentuk terakhirlah yang lebih populer.[11]
b.
Al-Badâ’. Doktrin
al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau
keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru.[12]
c.
Asyura. Maksudnya
adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai
hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan
keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61
H di Karbala, Irak.[13]
d.
Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi
saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah
Nabi.[14]
e.
‘Ishmah. ‘Ishmah ialah
kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh
Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.[15]
f.
Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan
datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan
kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi.[16]
g.
Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari
kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah
al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan;
dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai
arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[17]
h. Raj’ah. Kata
raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh
dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[18]
i.
Taqiyah. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan
jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya.[19]
j.
Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut
pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya
tersebut cepat dikabulkan Allah swt.[20]
k. Tawallî dan
tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat
seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an
fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.[21]
1.5. Sekte-sekte
Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan
besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah
pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah
atau Syi’ah Dua belas. Golongan
lainnya adalah golongan Isma’iliyah.[22]
Sementara itu,
Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai
berikut:
a.
Al-Ghaliyah:
Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah,
Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah,
Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah,
Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
b.
Imamiyah:
Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah,
Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah,
Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah
(Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah
(Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah,
Yunusiah, Setaniyah.
B. Aliran Khowarij
1.1. Pengertisn Khowarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim
fail) artinya yang keluar . Dinamai demikian karena kelompok ini adalah
orang-orang yang keluar dari barisan Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra
sebagai protes terhadap Imam Sayyidina Ali ra yang menyetujui perdamaian dengan
mengadakan arbitrase dengan muawiyah bin Abi Sufyan.
Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari kata
kharaja- khurujan didasarkan atas (QS An
Nisa [4]: 100) Yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang dijalan
Allah. Kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari
rumah semata-mata untuk berjuang dijalan Allah.[24]
Dengan demikian khawarij adalah aliran (firqah) yang keluar dari
jamaah (almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang
bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya. Selain nama
khawarij, ada beberapa nama lagi yang dinisbatkan kepada kelompok aliran ini,
antara lain al-muhakkimah, syurah, haruriyah dan al-mariqah.
Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal (Tidak
hukum kecuali hukun Allah) atau (Tidak ada pembuat hukum kecuali Allah).
Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Imam Sayyidina Ali bin Abi
Thalib ra. Menurut pendapat aliran ini yang berhak memutus perkara hanya Allah
Azz wa Jalla, bukan melalui arbitrase (tahkim).
Syurah berasal dari syara-syira’an artinya menjual. Penanaman ini
didasarkan pada (QS Al Baqarah [2] : 207),”Dan diantara manusia ada yang mejual
dirinya untuk memperoleh keridlaan Allah”. Pengikut aliran ini menganggap
kelompoknya sebagai golongan yang dimaksud dengan ayat diatas.[25]
Haruriyah berasal dari kata hururah, nama derah tempat menggalang
kekuatan dan pusat kegiatan kelompok ini setelah memisahkan diri dari Ali bin
Abi Thalib. Haruriyah berarti orang-orang berkebangsaan harurah.
Al-Mariqah berasal dari kata maraqa artinya anak panah keluar dari
busurnya. Pemberian nama ini oleh orang-orang yang tidak sepaham (lawan) aliran
ini karena dianggap telah keluar dari sendi-sendi agama islam. Adanya sebutan
(nama) yang variatif bagi aliran khawarij itu didasarkan kepada slogan-slogan
yang diproklamirkan aliran ini, atau berdasarkan markas dan pusat perkembangan
serta penyebaran aliran ini, bahkan ada yang berdasarkan kecaman dari yang
tidak sefaham dengan aliran ini.
1.2. Sejarah Aliran Khowarij
Aliran ini muncul saat terjadinya perselisihan antara Muawiyah bin Abu
Sufyan dengan Ali bin Abi Tholib dalam perang shiffin tahun 37 H. kedua
kelompok yang bertikai akhirnya sepakat mengadakan perundingan dan sepakat
kembali ke Kitabullah. Dalam perundingan itu terjadilah pengelabuhan yang
dilakukan Amr bin Ash (perwakilan Muawiyah) terhadap Abu Musa al-Asy’ari
(perwakilan Ali). Kejadian ini menimbulkan kejadian krisis baru dan pembangkangan
yang dilakukan sekelompok muslim yang kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka
menyatakan “La Hukma Illallah”. Para kelompok tersebut kemudian membaiat
Abdullah bin Wahb Ar Rosiby.[26]
Mereka menyebut dirinya dengan sebutan Syurah (golongan yang bersedia
mengorbankan dirinya demi mendapatkan keridloan Allah).
khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian
beralih menjadi gerakan teologis, sehingga khawrij menjadi aliran dalam teologi
islam yang pertama, kaum khawarij dikenal sebagai kelompok orang yang melakukan
pemberontakan terhadap imam yang sah
yangb diakui olehb rakyat (umat). Oleh karena itu, istilah khawarij bisa
dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam,baik pada masa sahabat maupun
pada masa-masa berikutnya.
1.3. Tokoh-tokoh Aliran
Khowarij
a. Urwah bin
Hudair
b. Mustarid bin
Sa’ad
c. Hausarah
Al-Asadi
d. Quraib bin
Maruah
e. Nafi’ bin
Al-Azraq
f. ’Abdullah bin
Basyir
1.4. Ajaran-ajaran Khowarij
a. Kaum muslimin
yang melakukan dosa besar adalah kafir.
b. Kaum muslimin
yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan
Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima
dan membenarkannya) dihukumi kafir.
c. Khalifah harus
dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak
mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa
menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.[28]
1.5. Sekte-sekte Aliran Khowarij
a.
Muhakkimah
Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Beliau adalah tokoh utama dari 12.000 orang
yang keluar dari barisan Ali r.a. dan menjadikan Haruriah sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama kroninya
mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdulllah sendiri.[29]
b.
Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang berasal dari Bani Hanifah. Mereka merupakan
pendukung terkuat mazhab Khawarij yang paling banyak anggotanya dan paling
terkemuka di antara semua aliran yang mazhab ini. Nafi’ meninggal karena
terbunuh dalam peperangan, kemudian kedudukannya digantikan oleh Nafi’ ibn
‘Abdullah dan Qothri ibn al-Fuja’ah.[30]
c.
Najdah
Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh. Pemimpin dari aliran
ini adalah Najdah ibn ‘Uwaimir yang berasal dari Bani Hudzaifah. Aliran ini
tidak sependapat dengan aliran Azariqah tentang kafirnya orang Khawarij yang
tidak mau turut berperang dan bolehnya membunuh anak-anak, sebagaimana mereka
juga tidak sependapat tentang status Ahl Dzimmah. Menurut aliran Azariqah
mereka tidak boleh diperangi karena menghormati perjanjian mereka, sementara
para pengikut aliran Najdah mengatakan mereka halal untuk diperangi.[31]
d.
Shafriyyah
Penganut aliran
ini adalah pengikut Ziyad ibn al-Ashfar. Pandangan mereka lebih lunak daripada
pandangan aliran Azariqah, tetapi lebih ekstrim dibandingkan dengan aliran
Khawarij lainnya.
Mengenai pelaku
dosa besar, mereka tidak sependapat dengan aliran Azariqah yang memandang
pelakunya menjadi musyrik dan kekal di dalam neraka.
Mereka
berpendapat bahwa kaum Muslimin tidak boleh diperangi, wilayah orang-orang yang
berbeda pendapat dengan mereka bukan wilayah perang, tidak boleh melecehkan
wanita dan anak-anak, serta tidak boleh memerangi seseorang kecuali tentara
pemerintah.[32]
e.
‘Ajaridah
Diantara pendapat mereka adalah boleh mengangkat seseorang pemimpin
jika diketahui bahwa orang tersebut adalh penganut Khawarij yang bertakwa
walaupun ia tidak turut berperang. Hijrah dari wilayah penganut paham yang
berlainan bukan kewajiban, melainkan suatu tindakan terpuji. Harta orang lainb
tidak boleh dikuasai sewenang-wenang, dan hanya boleh merampas harta orang yang
berlainan paham jika orang tersebut diperangi, sedangkan lawan tidak boleh
diperangi kecuali jika mereka menyerang kelompok ‘Ajaridah. Dan aliran ini juga
terpecah kedalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.[33]
f.
Ibadiyyah
Beberapa
pendapat mereka yang menonjol adalah:
·
Orang Islam
yang berbeda paham dengan mereka bukan orang musyrik, tetapi juga bukan orang
Mu’min.
·
Haram memerangi orang yang tidak sepaham dengan aliran Ibadhiyyah,
dan wilayah mereka adalah wilayah tauhid dan Islam, kecuali wilayah pasukan
tentara pemerintah.
·
Harta rampasan
dari kaum Muslimin yang menjadi lawan mereka haram diambil, kecuali kuda,
senjata dan perlengkapan peranng lainnya, sedangkan emas dan perak harus
dikebalikan.
·
Orang yang
berbeda pendapat dengan Ibadhiyyah dapat menjadi saksi dalam suatu perkara,
boleh menikahi mereka, serta saling mewarisi antara merekadan penganut Khawarij
lainnya tetap berlaku.[34]
C.
Aliran Murji’ah
1.1. Pengertian Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang
berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang
berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada
Allah SWT.
1.2. Sejarah Aliran murji’ah
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan
ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang
kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak
meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan
puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua
golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi
dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah
(661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama
menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah
merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij
tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam.
Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu
Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir
mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka,
sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka
tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang
lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan
Tuhan.
1.3.Tokoh-tokoh Aliran Murji’ah
Pemimpin utama Murji’ah adalah Hasan bin Bilal al Muzi, Abu Sallat
al samman, Dirrar bin Umar. Selain itu, tokoh-tokoh yang terkenal
lainnya adalah:
a. Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
b. Abu Hanifah
c. Abu Yusuf
d. dan beberapa ahli hadits lainnya
1.4. Ajaran-ajaran Aliran Murji’ah
a.
Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan
rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Berdasan hal ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan
perbuatan yang difardukan dan melekukan dosa besar.
b.
Dasar
keselamatan adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap
maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk
mendatangkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari
syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
c. Orang islam yang melakukan dosa besar tidak
dihukumkan kafir.
d. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui
dua kalimat syahadat.
e. Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan
hingga hari kiamat.
1.5. Sekte-sekte Aliran Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada
umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan
besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai
dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu
pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada
Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir,
karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah
berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah
menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan
seorang mukmin yang sempurna imannya.
Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat
kelompok besar, yaitu:
a. Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara
lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati
bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan.
c. Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan
maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang.
d. Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing
ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.
D. Aliran Qodariyah
1.1. Pengertian Aliran Qodariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab,
yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi
istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun
Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[35]
1.2. Sejarah Aliran
Qodariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara
pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin,
ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.[36]
Ibnu
Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama
Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul
Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[37]
1.3. Tokoh-tokoh Aliran
Qodariyah
Tokoh-tokoh aliran
qodariyah antara lain adalah:
a. Ma’bad
al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham
b. Abi Syamr dan Ibnu
Syahib
c. Galiani
al-Damasqi
d. Saleh Qubbah
e. Ibnu Sauda'
Abdullah bin Saba' Al-Yahudi
f. Al-Ja'd bin
Dirham (yang terbunuh tahun 124H)
g. Al-jahm bin
Shafwan
1.4. Ajaran-ajaran Aliran Qodariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran
Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah
yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan
dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai
daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[38]
Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut:
a.
Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
b.
Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap
mereka bebas berkehendak (iradah).
c.
Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang
ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
d.
Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini
disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
e.
Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
f.
Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa
kepada penyerupaan (tasybih).
g.
Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah
(fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab
siksa.
1.5. Sekte-sekte Aliran Qodariyah
a. Golongan
Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta
mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata
jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya,
dan kami tidak mengharamkan apapun.
b. Qadariyah
majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam
penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa
yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala
merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
c. Qadariyah
Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua
perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini
membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju
dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi
kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal
jamaah).
E. Aliran Jabariyah
1.1. Pengertian Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa
nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar
yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah
menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[39]
1.2. Sejarah Aliran Jabariyah
latar belakang
lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan
bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu
para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
Pendapat lain
mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang
ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas
ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
1.3. Tokoh-tokoh Aliran
Jabariyah
a. Al-Ja’d bin
Dirham
Pendapat-pendapatnya :
·
Tidak pernah
Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat
An-Nisa ayat 164.
·
Bahwa Nabi
Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat
An-Nisa.
b. Jahm Ibnu
Shafwan
c. Husain bin
Muhammad An-Najjar
d. Adh-Dhirar
1.4. Ajaran-ajaran Aliran Jabariyah
Diantara ajaran Jabariyah adalah:
a. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan
ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata
Allah semata yang menentukannya.
b. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun
sebelum terjadi.
c. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
d. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus
dilafadhkan.
e. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama
dengan makhluk ciptaanNya.
f. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan
hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah
Allah semata.
g. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh
penduduk surga.
h. Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan bukan
kalamullah
1.5. Sekte-sekte Aliran Jabariyah
Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam Jabariyah, yaitu:
a. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte
para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seorang yang paling berjasa besar
dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al
Bari Ta‟ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak
boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup
(hayat) dan mengetahui („alim), karena penyifatan seperti itu mengandung
pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu
tidak mungkin terjadi.
b. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H
/ 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap
diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan
dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudharat.
c. Dhirariyah
Sekte ini dipimpin oleh
Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan
sifat-sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh)
dan tidak pula ajiz (lemah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Aliran Syiah adalah Aliran yang mendukung Ali bin Abi Tholib dan ahli
bait nya sebagai pemimpin yang sah.
2. Aliran Khowarij adalah aliran yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Tholib karena mereka tidak puas dengan tahkim yang dilakukan Ali. Mereka
berpendapat bahwa Ali telah melakukan dosa besar.
3. Aliran Murji’ah adalah golongan
atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia
bergantung pada Allah SWT. Aliran ini berpendapat Iman
adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja.
4. Aliran Qodariyah adalah aliran yang
berpendapat bahwa manusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
5. Aliran Jabariyah adalah aliran yang
berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Jadi manusia tidak punya wewenang dan
kehendak untuk berbuat sendiri, mereka percaya bahwa semua tingkah lakunya
telah ditentukan Allah.
B. Penutup
Alhamdulillah
puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan
kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang
telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman
yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya kami mohon maaf apabila didalam makalah
ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis
meminta kritik dan saran agar dalam penulisan makalah berikutnya kami bisa
lebih bagus dan lebih kreatif.
Daftar Pustaka
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam
Jilid 5. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve
Suma, Muhammad
Amin dan
Taufik Abdullah, ed. 2003. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. 1988. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah.
T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah.
al-Hafni, Abdul
Mun’im. 2006. Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan
Islam, terj. Muchtarom.
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Rousydiy, Lathief. 1986. Agama dalam Kehidupan Manusia. Medan:
Rimbow.
Zahrah, Imam
Muhammad abu. 1996. Aliran
Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dari tarikh al-Madzahib al-Islamuyyah. Jakarta: Logos.
Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung:
Puskata Setia.
Nasution,
Harun. 1983. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, hlm. 5.
[2] Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, hlm. 343.
[3] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.:
Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), hlm. 34-35.
[9] Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait / Syi’ah Indonesia. Karya
tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka
Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi
(1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan
Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari,
Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
(Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang
berbasiskan pada kaum Ahlul bait / Syi’ah Indonesia. Selengkapnya lihat
http://www.ijabi.org/ijabi.html; http://www.ijabi.org/pimpinan.html
[10] Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso,
Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada
acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di
Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof.
Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
sebagai perwakilan Sunni.
[23] Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2006), cet. ke-1, hlm. 575.
[29] Imam Muhammad abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Terjemahan
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dari tarikh al-Madzahib al-Islamuyyah, (Jakarta:
Logos, 1996), hlm. 78-80
[39] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 33.