BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti selalu menginginkan kebebasan
dalam hidupnya. Kebebasan dalam berpikir,
berekspresi maupun dalam melakukan kegiatannya, yaitu kegiatan yang disadari,
disengaja maupun yang dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut
tindakan. Mereka diberi
kebebasan dalam melakukan sesuatu asalkan sesuai dengan syariat yang telah
ditetapkan, tidak juga melampaui batas wajar syariat. Manusia hidup didunia pasti memiliki tanggung
jawab dalam melaksanakan kehidupannya, baik itu tanggung jawab terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain, terhadap agama maupun budaya. Adanya akibat ini maka seorang manusia mempunyai taggung jawab atas apa
yang diperbuatnya.
Kebebasan
seseorang akan menyebabkan timbulnya tanggung jawab.Tangung jawab tersebut
membuat manusia melakukan kebebasan berdasarkan hati nurani. Banyak manusia
yang tidak mengetahui dasar-dasar kebebasan yang telah ditentukan , karenanya
kita sebagai manusia yang mayoritas mencintai kebebasan setidaknya kita
memahami apa itu kebebasan yang bertanggung jawab yang berpengaruh pada hati
nurani.
Oleh karena itu, hati nurani yang menjadi dasar pertimbangan seseorang
dalam berbuat. Jika seseorang mampu berbuat kebaikan sesuai hati nuraninya maka
dengan mudah ia dapat mempertanggung jawabkan apa yang dibuatnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kebebasan?
2.
Apa pengertian tanggung jawab?
3.
Apa pengertian Hati Nurani?
4.
Bagaiman hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati
nurani dengan akhlak?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebebasan
Di antara masalah yang menjadi bahan
perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan
atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Para ahli teologiter membagi menjadi dua kelompok. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka
untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang
berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan
perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Diibaratkan sebagai
wayang yang mengikuti sepenuhnya oleh kehendak dalang.[1]
Di zaman baru, perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan
tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti
Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan suatu karena
terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia
meliliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2]
Disebut bebas apabila
kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan
atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan
bebas dari apa, tertapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut
bebas apabila :
a.
Dapat menentukan sendiri tujuan – tujuannya dan apa yang
dilakukannya,
b.
Dapat memilih antara kemungkinan – kemungkinan yang tersedia
baginya,
c.
Tidak dipaksa
atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun
dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri. Oleh kehendak orang lain,
Negara ataupun kekuasaan apapun.[3]
Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan
manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu
tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia
juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerimanya apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya,
keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh
kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang
sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan – keterbatasan tersebut tidak
mengurangi kebebasan kita.[4]
Dilihat dari sifatnya, kebebasan
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a.
Kebebasan
Jasmaniyah
Kebebasan
jasmaniah merupakan kebebasan dalam mengerakkan dan mempergunakan anggota badan
yang dimiliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauannya yang
dapat dilakukan anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan,
melainakan menentukan sifat dari kebebasan itu.
b.
Kebebasan kehendak (rohaniah)
Kebebasan
kehendak (rohaniah) merupakan kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan
kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena
manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja.
c.
Kebebasan Moral
Dalam arti luas berarti tidak adanya macam – macam ancaman,
tekanan, larangan dan tidak sampai
berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila
terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak.[5]
Manusia dalam
bertindak yaitu melakukan sesuatu dengan
sengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Kebebasan mengandung kemampuan
khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau
dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia dapat
menentukan sendiri tindakannya. Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan
tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak
hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menetukan dunianya dan
dirinya sendiri.[6]
B. Tanggung Jawab
Selanjutnya
kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu ditantang jika berhadapan dengan
kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak
mungkin ada tanggung jawab tanpa ada tanggung jawab. Disinilah letak hubungan
kebebasan dan tanggung jawab.[7]
Dalam kerangka
tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan
dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan
manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan melakukan tujuan
hidupnya.[8]
Tanggung jawab
dapat terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, diantaranya :
a.
Tanggung Jawab
Agama.
Manusia lahir
dengan dibekali oleh Allah SWT berbagai potensi yang dimilikinya, potensi tersebut
diberikan Allah agar manusia mampu menjadi khalifah
(wakil) Allah dimuka bumi. Potensi tersebut diberikan sebagai alat untuk
mengurus alam dan seisinya dan agar manusia senantiasa menyembah Allah. Potensi
tersebut, tidak diberikan dengan gratis dan tanpa pengawasan, melainkan agar
dimintai pertanggungjawabannya. Tentang bentuk pertanggungjawabannya perbuatan
manusia tersebut, tercantum pada firman
Allah:
ثُمَّ
لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (٨)
Artinya: “ Kemudian akan ditanya pada hari itu (kiamat) akan nikmat-nikmat (yang
telah dianugerahkan kepadanya).” (QS. At- Takatsur: 8)
b.
Tanggung Jawab
Sosial
Manusia sebagai
makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan
bermasyarakat tentu ada suatu aturan
yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya. Peraturan tersebut merupakan wujud
tanggung jawab perseorangan terhadap lingkungan sosialnya yang bertujuan untuk
ketertiban dan kemamukmaran serta menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam
masyarakat tersebut.
c.
Tanggung Jawab
Akhlak (sosial)
Fitrah manusia
adalah cenderung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian dari
fitrah manusia. Oleh karena itu, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan moralitas manusia.
d. Tanggung Jawab Hati Nurani
Hati nurani
diartikan sebagai kekuatan yang memperingatkan manusia dan mencegahnya unutk
berbuat buruk. Tanggung jawab terhadap hati nurani berbentuk keinginan untuk
selalu mengikuti kehendak hati untuk melakukan kebaikan. Bila tindakan
seseorang berlawanan dengan hati nuraninya maka sudah pasti hidupnya dalam
kegelisahan.
e. Tanggung Jawab Amal Perbuatan
Setiap
perbuatan manusia betapapun kecilnya pasti ada pertanggung jawabannya. Baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Dengan
demikian, tanggung jawab dalam kerangka akhlaq adalah bahwa keyakinan
tindakannya itu baik. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat
kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran.
Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan
semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu
tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada
dalam diri manusia yang dapat menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat
disebut bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.[9]
C.
Hati Nurani
Hati nurani
didalam bahasa barat dikenal dengan istilah : Conscience, Conscientia, Gewissen,
Geweten. Conscientia (Latin) merupakan terjemahan dari Suneidesis
(Yunani), yang arti umumnya “sama-sama mengetahui perbuatanorang lain”. Jadi Suneidesis
itu di tujukan kepada perbuatan sendiri, maka Suneidesis dapat
diterjemahkan dengan “sadar akan” (perbuatannya sendiri).[10]
Hati nurani atau
intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari
Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka
pada keburukan. Atas dasar ini muncullah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik
adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang
tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.[11]
Karena sifatnya
yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan
dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang
tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian
itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.[12]
D.
Hubungan antara
Kebebasan, Tanggung jawab, dan Hati Nurani dengan Akhlaq
Suatu perbuatan
baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat
dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri,
bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas.
Dengan demikian, perbuatan yang berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja secara bebas. Disinilah letak hubungan antara kebebasan dengan
perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga
harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti
inilah yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya dari orang yang
melakukannya. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dengan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga
harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata
hati menjadi demikian penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan
suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
perbuatn akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seorang
tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan
hati nurani.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kebebasan
merupakan hak seseorang untuk berekspresi dan melakukan segala sesuatu sesuai
kehendaknya tanpa ada tekanan dari pihak lain namun tetap pada batas-batas
tertentu. Kebebasan menurut sifatnya dibedakan menjadi 3: kebebasan jasmaniah,
kebebasab kehendak dan kebebasan moral.
2.
Tanggung jawab
adalah sikap dimana seseorang dapat dimintai penjelasan mengenai apa yang telah
diperbuat, tidak hanya menjawab tapi juga tidak mengelak.
3.
Hati nurani
merupakan perasaan/ suara hati manusia yang menjadi dasar pertimbangan mereka
dalam melakukan suatu tindakan, dimana perbuatan tersebut cenderung kepada
kebaikan. Namun tidak selamanya hati nurani berkata benar, meskipun begitu
manusia cenderung untuk tetap menaati apa yang menjadi keyakinannya dalam hati
mereka.
4.
Hubungan antara
kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak sangatlah jelas dan
terikat. Kebebasan muncul karena adanya keinginan dari hati nurani untuk
melakukan sesuatu, perbuatan yang sesuai hati nurani dan cenderung pada
kebaikan disebut sebagai perbuatan akhlaki. Perbuatan sekecil apapun akan
memiliki konsekuensi yang kemudian mengharuskan pelaku bertanggung jawab atas
apa yang diperbuat, entah itu merugikan
atau menguntungkan. Tidak akan ada tanggung jawab tanpa adanya kebebasan yang
bersumber dari hati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
Zubair, Achmad Charris. 1987. Kuliah
Etika. Jakarta: Rajawali Pers.
Nata,
Abuddin. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers
PRAGMATIC CASINO - Mapyro
BalasHapusSee 9282 traveler reviews, 상주 출장마사지 891 candid 거제 출장안마 photos, 밀양 출장샵 and great deals for PRAGMATIC CASINO at Wynn Las Vegas in Las Vegas, 서울특별 출장안마 NV. Rating: 5 · 9282 reviews 경산 출장샵