Sabtu, 23 April 2016

Azas-azas Fiqh Jinayah: Azas Legalitas



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan.
Agama Islam adalah agama yang menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat global perlu adanya penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan dapat dikenakan sanksi apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Didalam hukum islam juga berlaku Asas Legalitas. Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Asas legalitas?
2.      Apa landasan kaidah Asas Legalitas dalam Pidana Islam?
3.      Apa saja kaidah Asas Legalitas?
4.      Bagaimana penerapan dan contoh Asas Legalitas dalam Jarimah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab, Asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimasksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.[1]
Kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau dari kata jadian “legalis” yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.[2] Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah al-Isra’ ayat 15 dan Surah al-An’am ayat 19.[3] Dalam kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif. Kendati demikian bukan berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam tidak mengenal asas hukum legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.[4]
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali, yang artinya tidak ada tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Terjemahan bebas “tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas legalitas” yang mempunyai dua makna, yakni:
1.        Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut (asas non retroactive).
2.        Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang (ketentuan hukum umum / lex generalis).

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat dikecualikan di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan perubahan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis derogat lex generalis.[5]
Asas legalitas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

B.       Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam
Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasandan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا
Artinya: “dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ
Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka”.
Al-Qur’an surat al-Anam: 19
قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ
Artinya: Katakanlah:Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". 
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QS al-Nisa: 16, QS al-Baqarah: 286, dan QS al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas legalitas. Ketentuan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan Allah SWT melalui Rasul-Nya.[6] Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka yang berada dibawah kemampuannya.

C.       Kaidah Asas Legalitas
Salah satu kaidah yang terpenting dalam dalam syari’at Islam adalah:
لاحُكمَ لاَفعَالِ العُقلاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النصِّ
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang berbunyi:
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يقوم الدليل على التحريم
Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehungga ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua perbuatan dan sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama belum ada nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut.
Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
لا يمكن اعتبار فعل او ترك جريمة الا بنص صريح يحرم الفعل اوالترك. فإذا لم يرد نصّ يحرم الفعل اوالترك فلامسؤليّة ولاعقاب على فاعل او تارك.
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya”.
Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.
Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain yang berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ من كان قادرا على فهم دليل التكليف أهلا لما كلف به. ولاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ بفعل ممكن مقدور للمكلف معلوم  له علما يحمله على امتثاله.
“Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (Taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat untuk para mukallaf ada dua macam:
1.        Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi
2.        Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam :
1.        Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2.        Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3.        Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.[7]

D.      Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah , akan tetapi corak da cara penerapannya tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang akan terlihat nanti.
1.        Asas Legalits pada Jarimah Hudud
a.       Untuk jarimah zina
1)      Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
2)      Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b.      Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4).
c.       Untuk jarimah asy-syurbu
1)      Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
2)      Tiap-tiap yang memabukkan adalah haram. (Hadits).
d.      Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e.       Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah: 3).
f.       Untuk jarimah ar-riddah
1)      Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
2)      Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 217).
g.      Untuk jarimah al-baghyu
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2.        Asas Legalits pada Qiyas-Diyat
a.       Untuk jarimah al-qatl a-’amd
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’: 33)
b.      Untuk jarimah al-qatl syibh al-‘amd
Rasulullah berkata: “Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja (semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus unta. (Hadits)
c.       Untuk jarimah al-qatl al-khata’
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
d.      Jarimah untuk al-jarh al-khata’
Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga, maka untuk masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta. Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e.       Jarimah untuk al-jarh al-‘amd
Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil pertimbangan orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).[8]
3.        Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga bagian:
a.         Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.[9]
b.        Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.[10]
c.         Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat.[11] Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.[12]

Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun), misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan. Kemudian dilarang oleh Islam, dengan firman Allah: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275). Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa perdata. Nas-nas tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba yang terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.[13]



BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
1.      Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
2.      Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: surat al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-An’an ayat 19, surat al-Baqarah ayat 286.
3.      Kaidah asas legalitas “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat
4.      Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah zina: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”. ( QS. An-Nur: 2)
B.       Saran
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan  terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mohon maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
Ali, Zainuddin. 2009.Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Media Grafika.
Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam. Semarang: Karya Abadi Jaya.


[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), cet. 20, hlm. 126
[2] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm. 21
[3] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 2, hlm. 5.
[5] Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 237-238.
[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Media Grafika, 2006), cet. 2, hlm. 29-31
[8] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. 3, hlm. 61-67
[9] Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 41
[10] Ibid., hlm. 43
[11] Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 197
[12] Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 45
[13] Ahmad Hanafi, Op. Cit., hlm. 82-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar