BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan
apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana
ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan
orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan
Negara/pengadilan.
Agama Islam
adalah agama yang menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya
merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik
tindakan maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat global perlu adanya penafsiran untuk
menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan
ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya
hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan
dapat dikenakan sanksi
apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas bermaksud
membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi,
tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai
sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Didalam hukum
islam juga berlaku Asas
Legalitas. Pemberlakuan Asas Legalitas
bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah
hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Asas legalitas?
2.
Apa landasan kaidah
Asas Legalitas dalam
Pidana Islam?
3.
Apa saja kaidah Asas Legalitas?
4. Bagaimana penerapan dan
contoh Asas Legalitas dalam Jarimah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab, Asasun. Artinya
dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud
dengan asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Jika kata asas
dihubungkan dengan hukum, yang dimasksud dengan asas adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum.[1]
Kata legalitas berasal dari
bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau dari kata
jadian “legalis” yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.[2] Yang
dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah al-Isra’ ayat 15 dan Surah al-An’am ayat
19.[3] Dalam
kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan
mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang
lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah asas
legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif. Kendati demikian bukan
berarti syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak mengenal asas legalitas. Bagi
pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam tidak mengenal asas hukum
legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang
secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.[4]
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: nullum delictum
nulla poena sine preavia lege
poenali, yang artinya tidak ada
tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu. Hal
ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan yang
dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang
ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen feit is strafbaar dan
uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Terjemahan
bebas “tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam
undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas legalitas” yang
mempunyai dua makna, yakni:
1.
Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku ke depan dan tidak
berlaku surut (asas non retroactive).
2.
Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari
undang-undang (ketentuan hukum umum / lex generalis).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat dikecualikan di dalam Pasal 1
ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan
dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan perubahan itu, maka dipakailah
ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan Pasal 1
ayat (1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis
derogat lex generalis.[5]
Asas legalitas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari
penyalahgunaan kekuasaan
atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus
diberi peringatan sebelumnya
tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan
asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya
terhadap orang yang
melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.
Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum
yang sudah tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
B.
Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam
Asas legalitas
dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan
Allah SWT. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam,
terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah
SWT tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta
pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasandan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah
kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklifi yang
sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ
رَسُولٗا
Artinya: “dan
Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang
Rasul”.
Al-Qur'an surat
Al-Qashash: 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ
يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ
Artinya: “Dan tidak
adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus
di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka”.
Al-Qur’an surat
al-Anam: 19
قُلۡ أَيُّ شَيۡءٍ أَكۡبَرُ شَهَٰدَةٗۖ قُلِ
ٱللَّهُۖ شَهِيدُۢ بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ
لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ أَئِنَّكُمۡ لَتَشۡهَدُونَ أَنَّ مَعَ ٱللَّهِ
ءَالِهَةً أُخۡرَىٰۚ قُل لَّآ أَشۡهَدُۚ قُلۡ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ
وَإِنَّنِي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ
Artinya: Katakanlah: “Siapakah
yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: “Allah”.
Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku
supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang
sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada
tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak
mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa
dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan
Allah)".
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu
QS al-Nisa: 16, QS
al-Baqarah: 286,
dan QS al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini
berbicara tentang asas legalitas. Ketentuan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz
yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang mengandung arti
bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan Allah SWT melalui
Rasul-Nya.[6] Selain
itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini
berlaku hukum rukhsah bagi mereka yang berada dibawah kemampuannya.
C. Kaidah Asas Legalitas
Salah satu kaidah yang terpenting dalam dalam syari’at Islam adalah:
لاحُكمَ
لاَفعَالِ العُقلاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النصِّ
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang
yang berakal sehat”.
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf)
tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang selama belum ada nash
(ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan
perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang berbunyi:
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يقوم الدليل على التحريم
“Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehungga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”.
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua perbuatan dan sikap tidak
berbuat dibolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan kebolehan yang
dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama belum ada nash yang melarangnya
maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap
tidak berbuat tersebut.
Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
لا يمكن اعتبار فعل او ترك
جريمة الا بنص صريح يحرم الفعل اوالترك. فإذا لم يرد نصّ يحرم الفعل اوالترك
فلامسؤليّة ولاعقاب على فاعل او تارك.
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai
jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang
demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya”.
Oleh karena itu, perbuatan dan
sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang
saja melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat
diambil dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak
ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.
Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain
yang berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ من كان
قادرا على فهم دليل التكليف أهلا
لما كلف به. ولاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ بفعل ممكن مقدور للمكلف معلوم له
علما يحمله على امتثاله.
“Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan
(Taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk
mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali
dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh
mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang
harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung
jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat untuk
para mukallaf ada dua macam:
1.
Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi
hukum taklifi
2.
Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan
diberi hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang diperintahkan ada tiga
macam :
1.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2.
Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam
jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3.
Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan
sempurna.[7]
D.
Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah
, akan tetapi corak da cara penerapannya tidak
sama, melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, seperti yang
akan terlihat nanti.
1.
Asas Legalits pada Jarimah Hudud
a. Untuk jarimah zina
1) Dan janganlah kamu
mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
2) Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b. Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya
dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4).
c. Untuk jarimah asy-syurbu
1) Hai orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah:
90)
2) Tiap-tiap yang memabukkan
adalah haram. (Hadits).
d. Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri lelaki dan pencuri
perempuan hendaklah kamu potong tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e. Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah: 3).
f. Untuk jarimah ar-riddah
1) Barang siapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
2) Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.
(QS. Al-Baqarah: 217).
g. Untuk jarimah al-baghyu
Dan
apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang
lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil.
Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2.
Asas Legalits pada Qiyas-Diyat
a. Untuk jarimah al-qatl
a-’amd
Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra’: 33)
b. Untuk jarimah al-qatl
syibh al-‘amd
Rasulullah berkata:
“Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja (semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari
pecut, tongkat, dan batu, ialah seratus unta. (Hadits)
c. Untuk jarimah al-qatl
al-khata’
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman
membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah)
dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya,
maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
d.
Jarimah untuk al-jarh al-khata’
Dalam jarimah
ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan
apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung,
lidah, alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila
yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga,
maka untuk masing-masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta.
Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga
mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti
pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e.
Jarimah untuk al-jarh al-‘amd
Untuk tiap-tiap
perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau
sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil pertimbangan
orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).[8]
3.
Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir
Penerapan asas
legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah
huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga
bagian:
a.
Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir
diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak
pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak
adami.[9]
b.
Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini
dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu
perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai
penyimpangan dari aturan pokok tersebut.[10]
c.
Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah)
adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan. Jika meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan
merupakan maksiat.[11] Untuk
menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan
berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya
penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena
berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.[12]
Dengan berpegang kepada asas
legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta kaidah “tidak ada hukuman bagi
mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa
dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi
pengertian bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang
mengundangkannya. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku
surut (atsarun
raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai
penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun
raj’iyyun),
misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan yang biasa dikerjakan.
Kemudian dilarang oleh Islam, dengan firman Allah: Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barang siapa yang kembali (mengambil riba), Maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.(QS.
Al-Baqarah: 275). Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan
perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa perdata. Nas-nas tersebut
berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan pidana dan aturan perdata. Menurut
aturan pidana, riba yang terjadi sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak
dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba yang terjadi
sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai tagihan atas uang
pokok saja, tanpa bunga.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Asas legalitas adalah asas
yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya.
2.
Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara
lain: surat al-Isra ayat 15, surah
al-Qashash ayat 59, surat al-An’an ayat 19, surat al-Baqarah ayat 286.
3.
Kaidah asas legalitas “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang
yang berakal sehat”
4.
Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah
zina: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”. ( QS. An-Nur: 2)
B. Saran
Alhamdulillah
puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan
kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang
telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman
yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mohon
maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa
kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan
makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud.
2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
Ali, Zainuddin. 2009.Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses tanggal 10 Juni 2013
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam. Jakarta: Media Grafika.
Hanafi,
Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Rokhmadi.
2015. Hukum Pidana Islam. Semarang: Karya Abadi Jaya.
[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), cet. 20, hlm.
126
[4] https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses tanggal 10 Juni 2013
[6] https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-Pidana-Islam , diakses tanggal 10 Juni 2013
[7] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Media
Grafika, 2006), cet. 2, hlm. 29-31
[8] Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. 3, hlm. 61-67
[10] Ibid., hlm.
43
[11] Rokhmadi, Hukum
Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 197
[13] Ahmad Hanafi, Op.
Cit., hlm. 82-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar